Main » 2010»September»1 » Sejarah Konfrontasi Indonesia – Malaysia (Siapa yang salah?)
3:07 AM
Sejarah Konfrontasi Indonesia – Malaysia (Siapa yang salah?)
Sejarah pasti berulang. Begitulah pameo popular yang kerap kita dengar untuk mengingatkan manusia bahwa kejadian-kejadian masa lampau suatu saat nanti akan mengalami repetisi. Tak jarang siklus masa lalu akan kembali mendera kita meski pada situasi yang berbeda. Kiranya pameo inilah yang mungkin tepat untuk menggambarkan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Meski merupakan saudara serumpun hubungan bilateral keduanya selalu mengalami pasang-surut. Kadang harmonis tetapi kerap kali mendidih karena berbagai persoalan. Pasang Surut Pada awal tahun 1960-an Indonesia-Malaysia pernah terlibat konflik sengit. Pemicunya adalah keinginan Malaysia untuk menggabungkan wilayah Brunei, Sabah, dan Sarawak dalam Persekutuan Tanah Melayu. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka” Britania. Perang pun berkecamuk hingga akhir tahun 1965-an. Kala itu, jargon masyhur yang dikeluarkan oleh Soekarno adalah "Ganyang Malysia”. Kejadian ini pun populer dengan sebutan Konfrontasi Malaysia-Indonesia atau juga disebut sebagai Konfrontasi saja. Konfrontasi ini pun reda kala terjadi pergantian tampuk kepemimpinan di wilayah RI menjelang akhir tahun 1965-an. Dengan strategi rumit melalui Supersemarnya, Soeharto dapat mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Tak seperti pendahulunya yang lebih pro-Timur, Soeharto yang pro-Barat dengan segera dapat menyelesaikan konflik. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Indonesia-Malaysia menyepakati penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni dan perjanjian perdamaian pun ditandatangani pada 11 Agustus yang diresmikan dua hari kemudian. Selama era Orde Baru, boleh dibilang hubungan kedua negara serumpun ini cukup harmonis. Banyak kesepakatan-kesepakatan kerjasama bilateral di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya ditandatangani. Meski begitu, kerikil-kerikil kecil masih cukup banyak menghiasi perjalanan Indonesia-Malaysia. Sebut saja persoalan tentang perebutan pulau Sipadan dan Ligitan sejak 1967, masalah TKI dan perebutan wilayah teritorial. Kembali Meledak Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, ledakan-ledakan dalam skala lebih besar kembali mengusik hubungan Indonesia-Malaysia. Persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa Orba, banyak menjadi pemicu ketegangan. Diawali dengan lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 oleh keputusan Mahkamah Internasional. Hubungan kedua negara yang diibaratkan dengan abang-adik ini pun kembali memanas. Seperti kita tahu, persoalan perebutan pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan oleh Soeharto kepada Mahkamah Internasional pada 1997, saat krisis melanda. Belum sembuh shock Indonesia yang terjadi karena kehilangan dua pulau di atas, kembali Malaysia menyulut persoalan dengan mengklaim blok Ambalat sebagai wilayah teritorial mereka pada tahun 2005. Negeri Jiran ini mempersilahkan perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di laut Sulawesi. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut adalah milik Malaysia. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu. Kasus Ambalat menjadi titik ketegangan tertinggi pasca Konfrontasi. Pemerintah RI kemudian mengerahkan tujuh kapal perangnya ke perairan Karang Unarang. Bahkan rakyat setempat meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap ulah pemerintah Malaysia. Slogan politik "Ganyang Malaysia” pun kembali populer. Keadaan ini bukan hanya terjadi di Sulawesi tetapi juga di Jawa Barat dan wilayah Indonesia lainnya. Pemicu Bom Waktu Kini, ketegangan Indonesia-Malaysia kembali tersulut ke permukaan. Pemicunya sebetulnya mungkin bukan hal yang besar seperti perebutan wilayah teritorial. Akan tetapi hanyalah masalah pengeroyokan terhadap salah satu kontingen wasit karate Indonesia, Donald Pieter Luther Kolopita oleh empat polisi Diraja Malaysia. Parahnya, ketika masyarakat Indonesia menuntut Malaysia untuk meminta maaf, negara persemakmuran Inggris ini pun keukeuh tak perlu minta maaf atas kejadian yang menimpa Donald. Jika dibandingkan dengan masalah perebutan pulau Sipadan dan Ligitan serta sengketa Blok Ambalat, tentu kasus yang menimpa Donald ini bisa dibilang masalah sepele. Namun, karena sikap pemerintah Malaysia yang dipandang sangat arogan, ditambah dengan banyaknya kasus pelecehan dan perlakuan kasar terhadap TKI yang terungkap akhir-akhir ini, tentu akan menggugah rasa nasionalisme masyarakat Indonesia yang selama ini mati suri. Masyarakat Indonesia merasa harga dirinya telah diinjak-injak. Tak mengherankan apabila kemudian aksi protes marak muncul di pelbagai pelosok Nusantara. Siapa pun pasti tergugah jika melihat derita yang dialami Nirmala Bonat misalnya. Pekerja asal NTT ini harus menanggung rasa sakit yang cukup lama akibat disiksa oleh tuannya. Ia dipukul, diseterika, dan disiram oleh air panas. Hal yang kurang lebih sama juga dialami oleh Ceriyati. Pekerja asal Brebes, Jawa Tengah itu harus bergelantungan di lantai 15 sebuah apartemen Kuala Lumpur hendak melarikan diri. Ia tak tahan dengan siksaan yang mendera tak terperikan dari sang majikan. Ironisnya, masalah-masalah TKI seperti ini dipandang tidak serius oleh masyarakat dan aparat Malaysia. Hingga kini, misalnya, kasus kelanjutan penyiksaan terhadap Ceriyati juga masih tidak jelas. Terkait kasus Donald, insiden pemukulan ini bisa menjadi pemicu meledaknya akumulasi bom waktu dengan skala yang lebih besar. Ini tak lain dilatarbelakangi oleh: Pertama, Donald merupakan tamu yang diundang khusus untuk mengikuti kegiatan olah raga oleh Malaysia, dan bukan TKI ilegal. Akan tetapi ia mendapatkan perlakuan tak sewajarnya sebagai seorang tamu. Kedua, kondisi ini menyulut kemarahan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia, yang notabene sudah lama menyimpan amarah terhadap berbagai praktik kekerasan warga dan aparat Malaysia terhadap TKI kita. Ketiga, sikap pemerintahan Malaysia yang tak kunjung menunjukkan rasa persahabatan dan terkesan sangat arogan, menambah tensi kemarahan masyarakat. Keempat, sikap pemerintah Indonesia yang terkesan lembek dan tidak tegas, semakin membuat masyarakat marah dan mencari jalannya sendiri. Kelima, Nasionalisme masyarakat yang beranggapan bahwa Indonesia lebih besar daripada Malaysia, sudah muncul kembali. Jika tak segera dicarikan solusi yang baik di antara kedua negara mungkin konfrontasi pada tahun 1960-an akan kembali mewarnai sejarah kita. Cukup arif apabila pemerintahan Malaysia sedikit berendah hati dengan jalan meminta maaf. Indonesia saja ketika disudutkan dengan persoalan asap yang menyelimuti Malaysia dan Singapura, dengan lapang dada meminta maaf. Mengapa Malaysia yang meminta maaf karena telah menganiaya duta resmi yang diundangnya sendiri kok risih. Tanya kenapa. dari http://ariesgoblog.wordpress.com/2010/08/31/sejarah-konfrontasi-indonesia-malaysia-siapa-yang-salah/